Mengawali pembahasan hari ini dengan sebuah kisah inspirasi untuk pembaca yang budiman. Semoga dapat mengambil hikmahnya. Selamat Membaca!
Sebuah Kisah
Inspiratif berdasarkan kisah nyata, tentang kerasnya perjalanan hidup seorang
pemuda pemburu kerikil, pengangkut pasir dan buruh tani.
Narrated by:
Ahmad Jadulhaq H
Aku Bukan Batu
Akik
Sore itu aku duduk di teras depan
masjid, merenung sambil menikmati senja ditemani hempasan angin sejuk dari arah
barat. Tidak lama kemudian Pemuda itu datang menepuk bahu dan menyapaku.
“Yad, kamu
lagi ngapain?’’ sapanya hangat.
‘’Lagi
merenung, sambil tafakkur alam. Hha, kamu mau kemana?’’ jawabku gurau dan
bertanya balik.
‘’Gak kemana-mana,
tadi rencananya mau balik ke asrama, tapi disni enak, nyaman, jadi tinggal dulu
lah, hhe’’
Melanjutkan sedikit perbincangan,
saling sapa tanya jawab, bercanda, cerita tentang kejadian-kejadian lucu kemarin
waktu di kelas, dan sebagainya. Tiba-tiba dia berkata,
‘’Yad aku mau
curhat!?’’ tanyanya serius.
‘’Iya curhat
apa? Biasa aja bilangnya, kenapa?’’
‘’Kayaknya aku
terlalu boros, sudah sering sih, cuma gk enak juga kalo terus-menerus kaya
gini, belum cukup seminggu aku udah habisin uang ratusan ribu.’’
‘’Hah, koq
bisa sebanyak itu, beli apa aja kau?’’
‘’Yahh itu,
cuma makan dan rokok aja, jarang aku beli-beli selain itu.’’
‘’Loh salahmu
sendiri, makanya jangan terlalu boros! makan diatur, dan terpenting jangan
ngerokok, karena memang itu salah satu penyebab utama pemborosan, mudharatnya
juga banyak.’’
‘’Kalo makan
sih udah bisa teratur, cuma, rokoknya itu yang aku gk bisa tahan, gk bisa berhenti Yad, susah.’’
‘’Mudah, makan
permen aja sebagai penggatinya, lama-kelamaan juga nanti akan terbiasa, sama
manisnya juga lebih murah permen’’
‘’Udah ku coba
gk bisa, gk semudah itu Yad memberi nasihat, kamu belum tau sebabnya aku
begini, ini sebenarnya udah lama, ceritanya panjang, kau mau dengar?’’
‘’Hah, iya iya
apa?’’
Aku sebenarnya
terlahir dari keluarga yang kurang mampu, penghasilan orang tuaku terkadang
tidak cukup meskipun hanya untuk kebutuhan primer seperti makan sehari-hari,
apalagi buat belanja kebutuhan-kebutuhan sekunder. Karena semua itu, orang
tuaku pusing mencari jalan keluar, hampir sebulan berpikir, diskusi dan
musyawarah akhirnya mereka mengambil keputusan, yaitu merantau ke negeri
seberang (Malaysia) dan menurut mereka itulah solusi terbaiknya.
Tiga
bersaudara, anak kedua, dan hanya aku yang jenggotan. Dengan alasan itulah
mengapa hanya aku yang tidak boleh ikut bersama mereka, hidup bersama merasakan
kenyamanan keluarga sedarah. Saat itu Usiaku masih lima tahun, usia yang masih
sangat labil, belum mengetahui betul perkara yang baik dan tidak baik. Masih
jauh dari kematangan berpikir. Akhirnya aku dititipkan kepada kakek dan nenek,
yang sampai saat ini aku disuruh untuk memanggil keduanya layaknya orangtua
asli, Ayah dan Ibuku.
Sebagai
satu-satunya anak calon pemimpin keluarga, beban keluarga ada di tanganku, maka
tentu tuntutan hidup yang kujalani harus jauh lebih keras di banding dua
saudaraku. Kadang aku berpikir, mungkin bagi mereka (orangtuaku) aku hanyalah
sebuah eksperimen batu akik yang akan bisa dinikmati hasilnya setelah diasa,
ditumbuk, dipalu-palu, dibakar, diamplas dan sebagainya, sampai pada tujuan
akhir yaitu sebagai batu cincin cantik, mengkilat yang bisa dipamer dan
dinikmati keindahannya. Yah, tidak jauh bedah.
Aku berbeda
dengan anak-anak yang lain, karena kemandirianku
sudah terbangun sejak pertama masuk Sekolah Dasar (SD). Mulai dari awal masuk
sekolah kelas 1 SD dan lanjut sampai tamat Mts kelas 3 aku tidak pernah di beri
uang, orangtuaku mengrim uang hanya sebagai biaya sekolah, kakek dan nenek
ketika aku minta uang untuk main atau jajan layaknya teman-teman sebayaku,
merasakan kegembiraan dan rasa senang setiap hari tanpa ada beban dalam
pikiran, saat itu pula aku mendapat satu cambukan selang bakar, nama lainnya di
daerahku sering disebut dengan cambuk ikan pari. Tubuhku rasanya sudah
kebal dari rasa sakit karena cambuk, sampai saat ini tidak sedikit dari
cambukan itu masih membekas di paha dan betisku.
Pada akhirnya
aku memiliki inisiatif untuk membiayai hidup dan mencari uang sendiri. Aku
mulai pertama kali bekerja saat setelah naik kelas 3 SD, dan pekerjaan pertama
yang kugeluti adalah mencari kerikil di sungai belakang desaku, dengan
menggunakan rantang, kami disuruh mengambil kerikil sebanyak mungkin dari dalam
air kemudian diangkat ke daratan dan dihitung berdasarkan timbangan dari berat
kerikil yang didapat. Saat-saat inilah hampir semua kulit tubuhku berubah
menjadi hitam dan belang putih yang bekasnya bisa dilihat sampai saat ini,
karena seringnya kena matahari kemudian dalam keadaan keringat berendam dan mandi
air sungai. Pada saat ini pula kemudian aku mulai belajar menyentuh rokok,
ketika melihat pekerja-pekerja dewasa istirahat dan merokok, anak labil ingusan
yang tidak tahu apa-apa lalu ditawarkan rokok, yah terima aja, toh rasanya
manis kaya permen kok. Selanjutnya karena capek dan bosan kerja kerikil,
aku beralih mengangkut pasir, mengisi pasir satu mobil truk dengan menggunakan
alat sederhana satu sendok skop, biasanya di gaji dengan dua ratus lima puluh
ribu yang kemudian dibagi kepada banyaknya pekerja yang ikut membantu
pengangkutan. Di sela-sela sekolah, sambil mengangkut pasir, sorenya aku juga
membantu kakek dan paman kerja sawah.
Begitu
kerasnya kehidupan ini membuat dan membentuk karakterku jadi ikut keras,
memiliki tempramen agak tinggi sehingga hanya sedikit teman yang ingin bergaul,
dekat dan main denganku. Hingga sampai suatu saat ketika aku mulai dewasa dan
matang dalam berpikir, mulai memikirkan tentang hidupku yang penuh perjuangan
dan kesedihan. Hampir seluruh dari kehidupan kuhabiskan dengan kerinduan akan
hangatnya pelukan seorang Ibu dan Ayah, kegembiraan kumpul makan dan cerita
bersama keluarga terdekat sedarah dan sedaging, bermain dan bertengkar dengan
kakak dan adik kecilku. Ketika kuingat semua itu, aku hanya bisa berkata seraya
teriak dalam hati, ‘’sungguh kejam dunia ini!’’.
Setelah tamat
Mts, aku memberanikan diri bertanya dan memohon kepada Ibu akan keinginan dan
kerinduanku untuk kembali bisa tinggal dan hidup bersama mereka layaknya
sepuluh tahun lalu, waktu usiaku lima tahun, menuntut keadilan dan haq yang
mesti kudapatkan sebagai seorang anak. Setelah bicara baik-baik, menelepon
melalui telepon seluler, lagi-lagi semuanya bullshit, Ibu menyuruhku
untuk melanjutkan pendidikan MA ke Pondok Pesantren dan belum boleh menyusulnya
ke Malaysia, baiknya aku diberi sedikit keringanan beban hidup saat mondok
yaitu uang jajan seratus ribu tiap bulan.
Pada akhirnya
sampai saat ini, di Pondok Al-Badar aku mendapatkan jawaban atas semua
pertanyaan dalam hidupku akan ketidak adilan yang menuntut ketabahan hati dan
haq seorang anak. Satu kata Ustad yang selalu kuingat: ‘’tidak ada suatu
kebaikan dan keburukan yang dilakukan di dunia ini, melainkan akan dibalas
kelak di akhirat’’ dan ‘’Setiap sesuatu yang terjadi dalam hidup memiliki
hikmah baik yang tersimpan untuk kemudian hari, tetap semangat dan optimis!’’
‘’Haaaahhh,
jangan terlalu serius, ya seperti itulah sekelumit gambaran kisah hidupku dari
kecil sampai kita bisa ketemu sekarang. hha’’ tutup Pemuda itu dengan senyuman khasnya.
‘’TerimaKasih,
kau telah memberikanku banyak pelajaran berharga hari ini yang Insyaallah akan
terus ku ingat dan ku amalkan kedepannya, eh kuharap aku bisa membantu
memberikan setiap kebutuhan yang kau perlukan, jangan sungkan ya, ayo balik ke
asrama!.’’
Ahmad Jadulhaq
Halim, lahir ‘’Rabu’’, 30-10-1996 di Parepare – Sulawesi Selatan.
Alumni Pondok Pesantren Al-Badar DDI Parepare, kemudian dengan tekad kuat dan
keyakinan besar memberanikan diri untuk lanjut study ke tempat yang jauh dari
kampung halamannya, Surabaya, masuk di UINSA (Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel) pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Jurusan BKI (Bimbingan dan
Konseling Islam), Kelas B.3, Nim: B53214012, angkatan 2014.
CP:
Hp_085398499412, fb_Ahmad Jadul, Instagram_@Ahmad Jadul, Twitter_@ahmad Jadul,
gmail_Jadul3010@gmail.com.
Postingan berikutnya akan berisi tips-tips kesehatan.
Terimakasih.




0 komentar:
Posting Komentar