Jumat, 10 April 2015

Aku Bukan Batu Akik

Mengawali pembahasan hari ini dengan sebuah kisah inspirasi untuk pembaca yang budiman. Semoga dapat mengambil hikmahnya. Selamat Membaca!



Sebuah Kisah Inspiratif berdasarkan kisah nyata, tentang kerasnya perjalanan hidup seorang pemuda pemburu kerikil, pengangkut pasir dan buruh tani.
Narrated by: Ahmad Jadulhaq H
Aku Bukan Batu Akik
            Sore itu aku duduk di teras depan masjid, merenung sambil menikmati senja ditemani hempasan angin sejuk dari arah barat. Tidak lama kemudian Pemuda itu datang  menepuk bahu dan menyapaku.
“Yad, kamu lagi ngapain?’’ sapanya hangat.
‘’Lagi merenung, sambil tafakkur alam. Hha, kamu mau kemana?’’ jawabku gurau dan bertanya balik.
‘’Gak kemana-mana, tadi rencananya mau balik ke asrama, tapi disni enak, nyaman, jadi tinggal dulu lah, hhe’’
            Melanjutkan sedikit perbincangan, saling sapa tanya jawab, bercanda, cerita tentang kejadian-kejadian lucu kemarin waktu di kelas, dan sebagainya. Tiba-tiba dia berkata,
‘’Yad aku mau curhat!?’’ tanyanya serius.
‘’Iya curhat apa? Biasa aja bilangnya, kenapa?’’
‘’Kayaknya aku terlalu boros, sudah sering sih, cuma gk enak juga kalo terus-menerus kaya gini, belum cukup seminggu aku udah habisin uang ratusan ribu.’’
‘’Hah, koq bisa sebanyak itu, beli apa aja kau?’’
‘’Yahh itu, cuma makan dan rokok aja, jarang aku beli-beli selain itu.’’
‘’Loh salahmu sendiri, makanya jangan terlalu boros! makan diatur, dan terpenting jangan ngerokok, karena memang itu salah satu penyebab utama pemborosan, mudharatnya juga banyak.’’
‘’Kalo makan sih udah bisa teratur, cuma, rokoknya itu yang aku gk bisa tahan,  gk bisa berhenti Yad, susah.’’
‘’Mudah, makan permen aja sebagai penggatinya, lama-kelamaan juga nanti akan terbiasa, sama manisnya juga lebih murah permen’’
‘’Udah ku coba gk bisa, gk semudah itu Yad memberi nasihat, kamu belum tau sebabnya aku begini, ini sebenarnya udah lama, ceritanya panjang, kau mau dengar?’’
‘’Hah, iya iya apa?’’
Aku sebenarnya terlahir dari keluarga yang kurang mampu, penghasilan orang tuaku terkadang tidak cukup meskipun hanya untuk kebutuhan primer seperti makan sehari-hari, apalagi buat belanja kebutuhan-kebutuhan sekunder. Karena semua itu, orang tuaku pusing mencari jalan keluar, hampir sebulan berpikir, diskusi dan musyawarah akhirnya mereka mengambil keputusan, yaitu merantau ke negeri seberang (Malaysia) dan menurut mereka itulah solusi terbaiknya.
Tiga bersaudara, anak kedua, dan hanya aku yang jenggotan. Dengan alasan itulah mengapa hanya aku yang tidak boleh ikut bersama mereka, hidup bersama merasakan kenyamanan keluarga sedarah. Saat itu Usiaku masih lima tahun, usia yang masih sangat labil, belum mengetahui betul perkara yang baik dan tidak baik. Masih jauh dari kematangan berpikir. Akhirnya aku dititipkan kepada kakek dan nenek, yang sampai saat ini aku disuruh untuk memanggil keduanya layaknya orangtua asli, Ayah dan Ibuku.
Sebagai satu-satunya anak calon pemimpin keluarga, beban keluarga ada di tanganku, maka tentu tuntutan hidup yang kujalani harus jauh lebih keras di banding dua saudaraku. Kadang aku berpikir, mungkin bagi mereka (orangtuaku) aku hanyalah sebuah eksperimen batu akik yang akan bisa dinikmati hasilnya setelah diasa, ditumbuk, dipalu-palu, dibakar, diamplas dan sebagainya, sampai pada tujuan akhir yaitu sebagai batu cincin cantik, mengkilat yang bisa dipamer dan dinikmati keindahannya. Yah, tidak jauh bedah.    
Aku berbeda dengan anak-anak yang lain, karena  kemandirianku sudah terbangun sejak pertama masuk Sekolah Dasar (SD). Mulai dari awal masuk sekolah kelas 1 SD dan lanjut sampai tamat Mts kelas 3 aku tidak pernah di beri uang, orangtuaku mengrim uang hanya sebagai biaya sekolah, kakek dan nenek ketika aku minta uang untuk main atau jajan layaknya teman-teman sebayaku, merasakan kegembiraan dan rasa senang setiap hari tanpa ada beban dalam pikiran, saat itu pula aku mendapat satu cambukan selang bakar, nama lainnya di daerahku sering disebut dengan cambuk ikan pari. Tubuhku rasanya sudah kebal dari rasa sakit karena cambuk, sampai saat ini tidak sedikit dari cambukan itu masih membekas di paha dan betisku.
Pada akhirnya aku memiliki inisiatif untuk membiayai hidup dan mencari uang sendiri. Aku mulai pertama kali bekerja saat setelah naik kelas 3 SD, dan pekerjaan pertama yang kugeluti adalah mencari kerikil di sungai belakang desaku, dengan menggunakan rantang, kami disuruh mengambil kerikil sebanyak mungkin dari dalam air kemudian diangkat ke daratan dan dihitung berdasarkan timbangan dari berat kerikil yang didapat. Saat-saat inilah hampir semua kulit tubuhku berubah menjadi hitam dan belang putih yang bekasnya bisa dilihat sampai saat ini, karena seringnya kena matahari kemudian dalam keadaan keringat berendam dan mandi air sungai. Pada saat ini pula kemudian aku mulai belajar menyentuh rokok, ketika melihat pekerja-pekerja dewasa istirahat dan merokok, anak labil ingusan yang tidak tahu apa-apa lalu ditawarkan rokok, yah terima aja, toh rasanya manis kaya permen kok. Selanjutnya karena capek dan bosan kerja kerikil, aku beralih mengangkut pasir, mengisi pasir satu mobil truk dengan menggunakan alat sederhana satu sendok skop, biasanya di gaji dengan dua ratus lima puluh ribu yang kemudian dibagi kepada banyaknya pekerja yang ikut membantu pengangkutan. Di sela-sela sekolah, sambil mengangkut pasir, sorenya aku juga membantu kakek dan paman kerja sawah.
Begitu kerasnya kehidupan ini membuat dan membentuk karakterku jadi ikut keras, memiliki tempramen agak tinggi sehingga hanya sedikit teman yang ingin bergaul, dekat dan main denganku. Hingga sampai suatu saat ketika aku mulai dewasa dan matang dalam berpikir, mulai memikirkan tentang hidupku yang penuh perjuangan dan kesedihan. Hampir seluruh dari kehidupan kuhabiskan dengan kerinduan akan hangatnya pelukan seorang Ibu dan Ayah, kegembiraan kumpul makan dan cerita bersama keluarga terdekat sedarah dan sedaging, bermain dan bertengkar dengan kakak dan adik kecilku. Ketika kuingat semua itu, aku hanya bisa berkata seraya teriak dalam hati, ‘’sungguh kejam dunia ini!’’.
Setelah tamat Mts, aku memberanikan diri bertanya dan memohon kepada Ibu akan keinginan dan kerinduanku untuk kembali bisa tinggal dan hidup bersama mereka layaknya sepuluh tahun lalu, waktu usiaku lima tahun, menuntut keadilan dan haq yang mesti kudapatkan sebagai seorang anak. Setelah bicara baik-baik, menelepon melalui telepon seluler, lagi-lagi semuanya bullshit, Ibu menyuruhku untuk melanjutkan pendidikan MA ke Pondok Pesantren dan belum boleh menyusulnya ke Malaysia, baiknya aku diberi sedikit keringanan beban hidup saat mondok yaitu uang jajan seratus ribu tiap bulan.
Pada akhirnya sampai saat ini, di Pondok Al-Badar aku mendapatkan jawaban atas semua pertanyaan dalam hidupku akan ketidak adilan yang menuntut ketabahan hati dan haq seorang anak. Satu kata Ustad yang selalu kuingat: ‘’tidak ada suatu kebaikan dan keburukan yang dilakukan di dunia ini, melainkan akan dibalas kelak di akhirat’’ dan ‘’Setiap sesuatu yang terjadi dalam hidup memiliki hikmah baik yang tersimpan untuk kemudian hari, tetap semangat dan optimis!’’
‘’Haaaahhh, jangan terlalu serius, ya seperti itulah sekelumit gambaran kisah hidupku dari kecil sampai kita bisa ketemu sekarang. hha’’ tutup Pemuda itu dengan senyuman khasnya.
‘’TerimaKasih, kau telah memberikanku banyak pelajaran berharga hari ini yang Insyaallah akan terus ku ingat dan ku amalkan kedepannya, eh kuharap aku bisa membantu memberikan setiap kebutuhan yang kau perlukan, jangan sungkan ya, ayo balik ke asrama!.’’  

Ahmad Jadulhaq Halim, lahir ’Rabu’’,  30-10-1996 di Parepare – Sulawesi Selatan. Alumni Pondok Pesantren Al-Badar DDI Parepare, kemudian dengan tekad kuat dan keyakinan besar memberanikan diri untuk lanjut study ke tempat yang jauh dari kampung halamannya, Surabaya, masuk di UINSA (Universitas Islam Negeri Sunan Ampel) pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Jurusan BKI (Bimbingan dan Konseling Islam), Kelas B.3, Nim: B53214012, angkatan 2014.
 CP: Hp_085398499412, fb_Ahmad Jadul, Instagram_@Ahmad Jadul, Twitter_@ahmad Jadul, gmail_Jadul3010@gmail.com.


Postingan berikutnya akan berisi tips-tips kesehatan.

Terimakasih.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More