Kamis, 18- Februari- 2016. Telah tersebar berita hangat terkait kasus pelecehan seksual yang melibatkan salah seorang Pedangdut Nasional Saipul Jamil. Berbagai tanggapan dari seluruh lapisan masyarakat dilontarkan. Melalui media sosial (medsos), dan secara langsung. Semua penggemar, keluarga, teman dekat, dan masyarakat secara keseluruhan memberikan komentarnya. “Bagaimana tidak, sebab seorang sosok Saipul Jamil selama ini terkenal sebagai artis yang religius dan taat menjalankan nilai-nilai agama.” Tutur salah seorang masyarakat ketika memberi tanggapan terkait kasus Saipul. Demikian pula yang telah dikatakan Almh. Istrinya Virginia Anggraeni, dalam sebuah status Facebooknya “Suamiku beribadah i’tikaf di masjid 10 hari, sendirian deh di rumah, selamat menunaikan ibadah ya sayang, selalu dalam lindungan Allah dan semoga barokah.” Dari beberapa pernyataan di atas dapat dilihat, betapa taatnya seorang Saipul dalam mengamalkan nilai-nilai agama.
Tidak hanya ibadah maktubah, melainkan juga ibadah sunah senantiasa dilakukan, bahkan sudah menjadi rutinitasnya di sela-sela kehidupan yang penuh dengan kesibukan sebagai seorang artis dan kepala rumah tangga saat itu. Memang benar ukuran baik-tidaknya seseorang tidak bisa diukur cuma dari representasi rajin-tidak ibadahnya. Namun setidaknya dari sana dapat dilihat hasil atau manfaat dari apa yang telah dilakukan. Sebab, selalu ada kesesuaian antara ibadah dan tingkah laku.
Akhlaq atau tingkah laku yang baik berasal dari ibadah yang baik dan benar, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, kebiasaan Saipul sebagaimana beberapa pernyataan di atas ketika diselaraskan dengan apa yang telah dia lakukan yang menggemparkan dunia entertaiment atau dunia keartisan, perlu dipertanyakan, sebab tidak sinkron dan merupakan hal yang tidak lazim bagi seorang ahli ibadah untuk melakukannya.
Satu hal yang menjadi sorotan publik, utamanya dalam perspektif intrapersonal adalah bagaimana tanggapan para Pakar Psikolog terkait kasus Saipul. Yang pertama adalah tanggapan dari Psikolog Seks Zoya Amirin, dalam analisanya mengatakan sebutan paedofil tidak tepat bagi Saipul Jamil. “Kalau dibilang paedofil, saya enggak setuju, karena dia itu berhubungan dengan anak berumur 17 tahun. Artinya anak itu sudah akhil balik. Walau secara hukum yang disebut anak-anak itu yang 18 tahun ke bawah. Tapi kalau secara psikologis, disebut sebagai anak-anak atau enggak itu tergantung akhil balik.” Tegasnya saat memberikan komentar terkait kasus Saiful. Saat itu dia dihubungi oleh pihak CNNIndonesia.com, Jum’at (19/2). Pada intinya, menurut Zoya, yang disebut Paedofil adalah mereka yang berhubungan seks dengan anak yang sudah akhil balik, berdasarkan pandangan psikologis.
Ketika kasus Saipul disandingkan dengan pelaku LGBT, dalam hal ini homoseksual, Zoya memiliki pandangan sendiri berdasarkan analisanya. Dia mengatakan kalau orientasi seks Saipul bukan homoseksual, tidak sependapat dengan persepsi yang menggolongkan kasus itu kesana. “Orientasi seksual menurut skala Kinsey, orang itu tidak pernah ada yang 100 persen homoseksual atau 100 persen heteroseksual. Semuanya itu gradasi.” ungkapnya. Dalam menggolongkan kasus itu, dia lebih condong kepada perilaku biseksual, “Kalau dari Saipul Jamil, saya hanya melihat kemungkinan orientasi seksualnya biseksual, namun bukan paedofil. Karena si anak sudah akhil balik. Dan bisa jadi sudah lama tapi baru ketahuan sekarang,” jelas Zoya.
Sejalan dengan itu, Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menilai dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Saipul Jamil kepada remaja pria berusia 18 tahun, tidak serta merta menandakan bahwa Saipul seorang pedofilia murni atau predator penyuka seks terhadap anak-anak. Hampir sama dengan pendapat Zoya, dalam kasus ini Reza memberikan penjelasan tentang bagaimana psikologi memandang pedofilia sebagai kasus pelecehan kepada seorang anak yang belum akhil balik atau belum memasuki masa pubertas. Namun di satu sisi dia cenderung lebih moderat, sebab dia menambahkan kalau bisa jadi Saipul juga digolongkan pedofilia, jika merujuk kepada UU. Perlindungan anak. Disebutkan anak di atas 18 tahun yang tidak dikategorikan anak-anak.
Ada kemungkinan lain kalau motif dari tindakan Saipul adalah karena dorongan situasi dan kondisi yang mendukung. Maksudnya kasus tersebut adalah kasus pedofilia situasional. Jadi tindakan yang dilakukan tidak semata-mata disebabkan oleh sifat dasarmya yang tidak heteroseksual. "Artinya pelaku yang pada dasarnya penyuka orang dewasa memilih 'anak-anak' dalam tanda kutip, lebih karena itu yang tersedia. Mengapa ia pilih lelaki, juga lebih karena jenis kelamin itu yang bisa ia sasar pada saat itu. Dengan demikian, faktor situasi lebih dominan ketimbang faktor kecenderungan seksual," tutur Reza.
Ini bukan masalah alat vital, seks, hormon, dan lain sebagainya, melainkan ini adalah masalah psikis dan mindset. Menurut analisa pribadi, kasus Saipul juga bisa dihubungkan dengan Psikologi analitikal, Carl Gustav Jung tentang struktur pembentuk kepribadian yang pada pengklasifikasiannya dalam diri manusia terdapat dua unsur yakni Anima dan Animus. Anima dan Animus adalah elemen kepribadian yang secara psikologis berpengaruh terhadap sifat bisexual manusia. Anima adalah sifat feminim yang terdapat dalam diri seorang lelaki dan animus adalah sifat maskulin yang ada pada diri seorang perempuan. Jadi kedua unsur ini sepatutnya selalu seimbang pada kadar pribadi yang semestinya, dan tidak menjadi dominan satu sama lain. Sebab jika salah satu dari unsur ini ada yang dominan dalam diri seseorang yang tidak semestinya, maka saat itulah struktur pembentuk kepribadiannya terganggu. Ada kelainan dalam diri yang bisa memicu terjadinya tindakan diluar kebiasaan orang pada umumnya.




0 komentar:
Posting Komentar